JANGAN BERSEDIH, SAHABAT!

Tit...tit..tit….bunyi dering sms dari HPku terdengar lebih pagi dari biasanya.
Kulihat jam dinding menunjuk pukul setengah empat pagi. Kubuka HPku dengan penuh rasa penasaran maklum masih pagi buta. Sambil bertanya-tanya siapa yang sepagi ini isenk mengirim sms. Oh, ternyata ada sms yang dari Aji, teman SMAku dulu.

“Aslm.Dod, tahu kabarnya Rina tidak ? “ sms Aji dari seberang, namun ku rasa pertanyaan itu pertanyaan yang dia sendiri sudah tahu jawabannya.

“Wslm. Emang ada berita apa ? aku dah lama ga tahu kabarnya nih.” Ku jawab dengan singkat karena memang kenyataannya sudah lama sekali aku tidak pernah kontak langsung dengannya, sudah lebih dari sekitar 5 tahun mungkin.

Aneh, kenapa harus menanyakan kabar Rina kepadaku. Padahal Aji kan tahu bahwa sudah lama sekali aku tidak kontak dengannya, bahkan bukannya aku malah sering minta Aji untuk ngecek keadaannya. Karena aji sendiri kan tertangganya Rina.

Kenapa yah aku kok jadi was-was ?

Sambil menunggu balasan lagi dari Aji pikiranku melayang kembali ke masa-masa SMA bertahun-tahun yang lalu. Rina, ya Rina seorang gadis manis berjilbab yang ku kenal saat pertama kali masuk SMA negeri di kota kelahiranku, Wonosobo. Dalam pandanganku dia agak beda dengan teman-teman gadis lainnya yang terkesan agak centil menurutku, dia lebih kalem dan sopan.

Tak kukira ternyata kami mendapat jatah satu kelas, IB. Di situ kami benar-benar berkesempatan saling mengenal, namun bukan lewat kenalan biasa. Karena aku dan dia ;ebih sering mengenal lewar persaingan memperebutkan titel siswa terbaik di kelas, bahkan untuk tingkat pararel sekaligus.

Awalnya, persaingan itu sering menimbulkan rasa ‘jengkel’ di hatiku. Maklum, anak muda yang bergejolak emosinya. Bahkan, pernah suatu saat aku terlibat perdebatan sengit pada rapat acara ekstrarikuler. Fuih! perdebatan yang amat melelahkan, karena dari kami tidak ada satu pun yang mau mengalah.

Menginjak kelas dua tiba-tiba kami berdua diberi kesempatan mewakili sekolah untuk mengikuti Olimpiade Fisika. Selama persiapan dan lomba yang mencapai hampi satu bulan di saat itulah tanpa ku kira benih-benih ketertarikanku pada dirinya muncul dan makin menggebu-gebu.

Tanpa menunggu waktu lama aku pun memutuskan akan mengutarakan rasaku, aku akan menembaknya!

Waktu itu sore hari selepas Olimpiade Fisika tingkat propinsi di Semarang. Sebenarnya aku sangat malu, malu banget, maklum sebelumnya aku belum pernah merasakan hal sedahsyat ini apalagi kalau harus pacaran. Tapi akan ku coba, aku harus menuntaskan ini apapun yang terjadi.

“Rin, ehm… boleh bicara sebentar ?” sambil berbasa-basi aku memulai pembicaraanku.
“Emang mau bicara tentang apa ?” segurit rasa penasaran tersimpulkan dari tatapan Rina.
“Ehm, sebenarnya .... sebenarnya “
“Sebenarnya apa ? “ dari raut wajahnya rina terlihat amat penasaran dan makin tidak sabaran.
“Sebenarnya... aku tu ….. aku mau bilang kalau aku sayang sama kamu ...!” Eugh! Sambil menggigit bibir aku lega berhasil mengatakan ini. Waduh, ternyata emang sulit banget.
“ Apa ? ga salah dengar nih... kamu sayang sama aku ?”
“ Bener..! yakin aku sayang sama kamu “ deg-deg-deg, entah secara otomatis kata-kata itu keluar dari lisanku, tapi yakin memang aku mantap mengatakan itu.
Rina terlihat kurang yakin…. Dia terlihat melamun, entah memikirkan apa. Apa dia tidak yakin dengan kata-kataku atau malah dia tidak ingin pacaran denganku.
“Terus, mau ga kamu jadi pacarku ? ” tanyaku singkat, ku harap dia bisa cepat menjawab.
“Apa ? Pacar ? yang bener aja nih.”
“Benar, swear ! aku mau kamu jadi pacarku ...”
Rina telihat berpikir, sepertinya dia amat ragu untuk memilih.
“Apa harus sekarang aku menjawabnya ? “
“Ya, aku mau kamu jawab sekarang...!”

Tek…tek… waktu serasa berhenti berputar sejenak menunggu dia mengutarakan jawabannya. Aku siap dengan jawaban apa pun kok, entah itu diterima atau tidak. Karena sebelumnya aku pun telah berkonsultasi dengan seorang temannya dan aku pun makin tahu kalau dia benar-benar cukup kuat memegang prinsip-prinsip agama, tidak seperti aku yang masih abangan. Kewajiban solat lima waktu aja masih sering kutinggalkan.

“OK, OK…… aku suka kamu kok.....tapi kita tidak bisa berpacaran. Dalam kamusku ga ada kata pacaran ” jawaban yang singkat akhirnya keluar dari bibirnya. Entahlah walaupun dia tidak mau jadi pacarku tapi pernyataannya kalau dia suka denganku itu sudah lebih dari cukup.
Yes ! aku berhasil dan aku benar-benar senang, senang banget. Tentunya sulit banget dijelaskan dengan kata-kata.

Akhirnya masa penantianku berakhir dan dia menerima perasaanku. Mulai saat itu pula aku dan dia makin lengket saja, walapun sebenarnya kami tidak pacaran. Entahlah ini namanya apa, mungkin TTM (Teman tapi mesra). Aku juga memberanikan diri main ke rumahnya, istilah bekennya apel. Ternyata dari situ aku makin mengetahui kalau dia berasal dari keluarga yang cukup berada untuk masalah ‘agama’. Itulah sebabnya, dia termasuk gadis yang berani berjilbab saat teman-teman sebayanya masih saja belum mau berjilbab, hebat!

Naik kelas tiga, kami berdua masih tetap sahabat ‘istimewa’ dan juga ‘rival’ dalam perebutan prestasi. Tapi hubungan ini kami usahakan sering untuk kebaikan, maka dari itu tidak jarang kami belajar kelompok berdua di kelas maupun di rumahnya selepas pulang sekolah.
Semua usaha itu tidak sia-sia. Aku dan dia menempati lima besar lulusan terbaik SMA dan berhak melanjutkan ke perguruan tinggi negeri di Jogjakarta dengan beasiswa. Suatu hal yang amat ku syukuri karena sebenarnya aku sendiri berasal dari keluarga yang kurang mampu. Kedua orang tuaku hanyalah karyawan biasa di sebuah perusahaan swasta dengan gaji yang pas-pasan. Keadaan yang sebenarnya dilematis buatku, aku ingin sekali kuliah tapi itu tidak mungkin karena orang tuaku tidak mampu. Alhamdulillah, sekarang ada beasiswa dan aku bisa kuliah, apalagi kuliah bareng Rina.

Tidak semua yang ku harapkan bisa berjalan dengan baik, kata-kata itu terngiang di kepalaku saat mengetahui harapan untuk melanjutkan kuliah bareng dia sirna sudah. Kedua orang tuanya ‘menyuruhnya’ untuk melanjutkan kuliah ke sebuah perguruan tinggi Islam di Mesir. Hal ini dimaksudkan agar ilmu agama yang dimilikinya tidak setengah-setengah.

“ Dod, aku benar-benar mohon maaf ya ?” jelas Rina sore itu selepas acara perpisahan di sekolah.
“Minta maaf untuk apa, Rin ? “ tanyaku, ku berusaha untuk tenang walaupun sebenarnya dalam hati ini getir amat terasa.
“Aku membatalkan janji kita untuk kuliah bareng.“
“Ga apa-apa Rin. Kita juga ga mungkin selalu bersama terus. Lagipula kan lebih penting menuruti kata-kata ortumu.“ aneh, tapi sekarang aku bisa mengeluarkan kata-kata sebijak itu. Perlu diketahui sebenarnya aku orang yang banyak guyonnya.
“Bener ya ? tapi, aku ada permintaan khusus buatmu“
“permintaan apa tuh ? “ aku penasaran, tapi aku yakin dia ga bakal macem-macem karena selama ini dia cukup pengertian terhadap keadaan ekonomi keluargaku.
“Simple kok, aku mau kamu harus banyak belajar tentang Islam ya !“ Waduh, ternyata ini permintaan seperti permintaan-permintaan sebelumnya. Dia memang getol menarikku untuk aktif dalam belajar agama, tapi emang dasarnya aku malas dan ga respek jadinya tetap aja gini. Tapi karena ini permintaan khususnya akan ku coba, lagipula entah kapan lagi aku akan bisa bertemu dia kembali.

Masuk jenjang kuliah, aku mencoba menaati pintanya dengan belajar Islam lebih dalam. Aku banyak mengikuti kajian-kajian keislaman. Alhamdulillah, lewat itu pula aku mulai lancar membaca Al Quran. Namun, di situ pula seorang Ustadzku memperingatkan untuk tidak mendekati zina.

“Ikhwan fillah, Allah telah mengharamkan perzinahan. Perlu diketahui bahwa zina itu tidak hanya zina fisik, melainkan ada juga zina mata dan zina hati “ tutur ustadz. “ Kesemua zina hanya akan menjuruskan ke neraka bila tidak bisa kamu kendalikan “.

Serasa tertohok di dada, aku baru sadar kalau selama ini aku banyak melakukan zina. Zina fisik tidak pernah tapi aku belum bisa menjaga diri dari zina hati dan mata, aku masih senang dan terlalu dekat dengan Rina.

Di sela-sela kegalauanku tentang hubunganku dengan Rina. Waktu juga menunjukkan bahwa kini Rina tidak lagi menghubungiku, tidak ada lagi email dari dia seperti biasanya. Yah, mungkin di sana dia juga merasakan hal yang sama denganku, dia tidak ingin terjerumus ke jurang Zina. Sakit dan sedih saat aku benar-benar sadar ditinggal, tapi apadaya diri ini.

Beruntung, ada kak Salim pembimbing mentoring keislamanku. Beliau adalah orang yang teguh beragama namun orangnya juga friendly banget dan yang terpenting aku cukup mengaguminya. Selama ini dia cukup sering menjadi tempat curhat masalah-masalahku. Alhamdulillah, dia juga memberiku masukan berharga, “ Tenang Dod, Allah maha adil, kalau kita memang benar-benar percaya Dia, Dia akan memberi kita pilihan terbaik.” Tutur kak Salim suatu ketika. Yup, benar aku harus setuju Allah akan memberiku jalan yang terbaik walaupun tanpa Rina nantinya.
Hari berlalu dan berlalu, Alhamdulillah ghirah (semangat) keislamanku makin bertambah, bahkan aku sudah mulai memberanikan diri mengikuti organisasi keislaman di kampus. Di sana aku makin aktif mengikuti kajian keislaman, bahkan tidak jarang mengikuti demo-demo anti Israel dan Amerika. Aku sadar kalau sekarang aku makin kuat dalam beragama, sangat berbeda dengan masa SMA dahulu. Terima kasih Rin ! Terima kasih buat spiritmu, semoga kamu bisa mendengarnya.

Walaupun sibuk berorganisasi itu aku berusaha tetap giat belajar dan Alhamdulillah aku bisa menyelesaikan kuliahku dalam waktu yang relatif singkat, empat tahun kurang. Aku sekarang jadi sarjana, sarjana Ilmu Komunikasi. Kini akan ku gapai impianku untuk menjadi seorang wartawan.

Kini, umurku sudah 25 tahun. Aku sudah hampir 4 tahun bekerja di sebuah surat kabar harian terkenal di ibukota. Alhamdulillah hidupku sudah jauh lebih baik, bahkan tahun lalu aku sudah bisa naik haji bareng kedua orang tuaku.

Aku pun juga telah siap berkeluarga, bahaya jika tidak secepatnya dilaksanakan begitu pesan kedua orang tuaku. Ok, aku setuju, insya Allah aku sudah punya calon, tinggal menunggu waktu saja.

Alhamdulillah juga lewat Aji kuketahui kalau Rina sudah kembali dari Mesir dua tahun lalu dan sekarang mengajar di Madrasah Aliyah Negeri di Wonosobo. Yang amat ku syukuri juga bahwa dia masih lajang sampai sekarang. Cerita Aji dulu sudah ada beberapa ikhwan yang melamar namun semuanya ditolaknya tanpa alasan yang jelas. Subhanallah, semoga ini pertanda kalau aku diberi kesempatan kedua untuk kembali.

Tit…tit….tit bunyi sms kedua dari Aji, ini yang amat ku tunggu-tunggu.
“Belum tahu ya, Akh? Innalillahi wa Innailahi Rojiun… tadi malam dia meninggal kecelakaan. Afwan dari tadi ga to the point.”

Sms terakhir dari Aji sangat singkat namun efeknya membuat hatiku terasa tercabik-cabik, pikiranku kacau, aku benar-benar kehilangan kesadaran, entah apa arti hidup ini sekarang, jalanku di depanku terasa amat suram tak terlihat tujuannya.

Tak terasa air mataku menetes mengingat semua kenangan yang telah berlalu. Aku adalah laki-laki yang ku anggap paling tegar ini merasakan kesedihan yang amat hebat. Aku mengaku kalah pada sedihnya hatiku.
…………………
Ku usahakan tetap tegar dan berdiri menghampiri meja kerjaku. Kuambil sepucuk surat dari laci, itu adalah surat yang sudah satu minggu ini menunggu untuk ku kirimkan. Itulah surat lamaranku kepadanya. Surat yang kini menjadi tiada berarti.

Samar-samar ku dengar suara Rina sebelum keberangkatannya ke Mesir, “Dod, Laa Tahzan! Innallaha ma’ana. Dod, jangan bersedih! Sesungguhnya Allah bersama kita.” Aku sedikit bisa tersenyum dalam kesedihan ini. Kuseka air mataku yang menetes. Lalu, kuputuskan keluar dari kamar, beranjak ke kamar mandi, mengambil air wudhu, kemudian shalat malam.

Dan terakhir, kuputuskan juga untuk tidak melayat ke Wonosobo, selain aku memiliki beberapa tugas penting hari ini, aku juga tidak ingin kesedihanku makin merajalela. Cukup Doa dan shalat gaibku saja dari sini. Innalilahi wa innailaihi rojiun.. selamat jalan sahabatku. Semoga Allah meridhoi amal-amal shalihmu.

Ya Allah, aku percaya inilah jalanmu dan semoga dia tenang di sisi-Mu, Amien.

Tidak ada komentar: